Senin, 15 Juni 2015

PILIHAN PUISI LOMBA MUSIKALISAKI PUISI KAT 16-20 TAHUN. AMUK TEATER LKK UNIMED

SAJAK SAYANG NA SIPUANG
karya: M. RAUDAH JAMBAK

tetabuh gonrang sipitu-pitu, pada mandiguri
tetabuh gonrang sidua-dua, pada mangililiki
kami gualkan
kami tarikan
untukmu kekasih hati
o, na sipuang, na sipuang
(onaha... i huda-hudai do namatei...)
engkau adalah ibu yang tak pernah kehilangan kasih
engkau adalah ibu yang tak pernah kehilangan sayang
melalui kibasan enggang doa-doa dilayangkan
melalui hembusan angin harapan diterbangkan
adakah lebih indah dari cinta seorang ibu
sejak kandungan harapan ditasbihkan
setelah lahir kasih mengalir seperti air
ketika dewasa menggudang segala cita
o, na sipuang, na sipuang
(sonaha...i toping-toping do namatei...)
ditalun-talun kisahmu tersiar
ditalun-talun kisahmu terkabar
di tanah ini kami mengobar mandillo tonduy
di tanah ini kami senandungkan urdo-urdo i
adakah yang lebih sedih dari tetes tangis ibu
tak sempat tasbihkan harapan
tak sempat mengalirkan kasih
tak sempat membaca cita-cita
o, na sipuang, na sipuang
kami tabuh gonrang
demi menjeput
segala riang
tetabuh gonrang sipitu-pitu, Pada mandiguri
tetabuh gonrang sidua-dua, Pada mangililiki
kami gualkan
kami tarikan
untukmu kekasih hati
2013


TANAH AIR
karya: Ali Hasjmi

I
Atas hamparan Samudera Hindia
Bertaburan pulau hijau semilau,
Diempasi ombak karang pantainya,
Itulah gerangan Tanah Airku.
Di situ daku dilahirkan Ibu,
Di situ tertumpah darah ke bumi,
Di situ daku menanti maut,
Di situ daku nanti berkubur.
Putuslah janji dalam hatiku,
Akan berjihad selama hayat
Untuk membela tanah tercinta,
tempat diri berutang budi
terikrar sudah sumpah setia,
Akan berbakti sampaikan mati,
Buat mengangkat tanah ulayat,
Ke puncak menara bahagia raya.

II
Di mana sawah membujur luas,
Serta ladang terbentang panjang,
Tempat petani menanam padi,
Indonesia Tanah Airku.
Dimana laut apas terpagar,
Serta danau berair tenang,
tempat nelayan mengail ikan,
Indonesia Tanah Airku.
Di mana luasnya rimba belantara,
Serta hutan hijau berdandan,
tempat peladang menebang kayu,
Indonesia Tanah Airku


JANGAN BILANG
karya: RAHIM QAHHAR

Jangan bilang : Indonesia hanya Soekarno-Hatta berteriak merdeka
di Pegangsaan Timur tujuhbelas Agustus empatlima

Indonesia adalah ratusan kaki napaktilas di daerah selatan
bersandingbahu bergantian menandu paru-paru Pak Dirman
tak satu pun urung atau menoleh ke belakang

Jangan bilang : Indonesia hanya Rudy bersama kawan berkibar
habis-habisan di gelanggang menimba airmata menang

Indonesia adalah Gombloh yang ompongkurus berteriak serak
merah darahku putih tulangku
Kristi menugal tanah merdeka melepas dara putih ke awan luka

Jangan bilang : Indonesia hanya Salim ahli sihir yang mahir
menyulap desa menjadi kotaraya atau melukis peta
sejarah purba menjadi peta semesta

Indonesia adalah iman meretas tali jajahan bersaksi bambu
mengalahkan meriam namun Nashar masih terus puasa malam
kanvasnya enggan tersentuh tangan dan Buyung menambal nasib
ke seberang teringat kalpataru jauh melayang

Indonesia adalah jutaan tangan siang malam mengemis asma Tuhan
minta sawah berbunga dan kebun tebu kukuh dalam petatua dunia
di mana pendekar sejarah bersumpah tak akan merubah
tanah pusaka di garis khatulistiwa

Indonesia adalah uratnadiku airmandiku gardujagaku jua
Chairil menjaga Bung Karno menjaga Bung Syahrir
menjaga Bung Hatta
aku menjaga siapa bila penerus mimpi dan pertapa
terlena diayun bunga-bunga surga

Jangan bilang : Indonesia harimau singa atau badak Sumatera
Indonesia bumijejakku tungkuapiku payungteduhku jua
Indonesia adalah nyawaku nyawamu nyawa ratusan juta jiwa
yang peluhlepuhnya bahana merdeka

Medan, 595


DIBAWA GELOMBANG
karya: Sanusi Pane

Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang, tidak berkawan,
Entah kemana aku ta’tahu

Jauh di atas bintang kemilau,
Seperti sudah berabad-abad;
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi, yang kecil amat.

Aku bernyanyi dengan suara
Seperti bisikan angin didaun;
Suaraku hilang dalam udara,
Dalam laut yang beralun-alun,

Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang, tidak berkawan,
Entah kemana aku ta’tahu


PILIHAN PUISI LOMBA BACA PUISI KATEGORI B, (16-120 THN) AMUK TEATER SUMUT KE 14

INDONESIA BERKACA
karya: M. Raudah Jambak

telah lama indonesia terjebak dalam buramnya
kotak kaca, mulai dari wajah yang berdebu, sampai
tiga dimensi yang kaku, parabola tak lagi berguna
dikalahkan kecanggihan batok kelapa-
kejahatan, penipuan, kemunafikan-berlomba menjadi
pelaku utama-sementara kejujuran, keikhlasan,dan
kesabaran-cukup puas sebagai figuran biasa

telah lama indonesia terjebak dalam kumuhnya
media masa, mulai dari wajah yang penuh darah,
 sampai bibir merah penuh gairah, headline kemanusiaan tak lagi berguna, politik haus kekuasaan di atas segalanya-korupsi, prostitusi, anti ideologi-menjadi berita terkini-sementara harkat, martabat, dan nurani-hanya penghias demi investasi

telah lama indonesia terjebak di atas panggung sandiwara, yang selalu kehilangan penonton setia
mulai dari fans tiba-tiba, sampai kelas utama
tiket pertunjukan tidak lagi berguna, sebab
undangan gagal membawa marwah cerita-pemain, penata, dan sutradara-saling curiga dengan honor
yang diterima-sementara proyek, eksebisi, dan
pertunjukan dalam rangka-menjadi penentu final
dalam berkarya

lihatlah aceh, ambon dan papua
lihatlah korupsi, prostitusi dan manipulasi negri
lihatlah segala amoral dan asusila
anak-anak bangsa

apa khabar munir yang menunggang garuda
apa khabar harry roesli dengan drs. arief-nya
apa khabar peter white dan sepakbola indonesia
apa khabar sby bersama seratus harinya
apa khabar hamid jabbar yang selalu menzikirkan puisinya, selalu tertawa gembira-walau dalam tangis indonesia
apa khabar tsunami yang selalu meneteskan
air mata

do’a takjim buat saudara-saudaraku,
yang mengawang di bukit lawang, menanam pusara badan di kuningan, menyerah di bandara adi sumarmo yang gelisah, ambruk mengurusi nyamuk-nyamuk, menggigil digetarnya gempa tsunami
dan yang tiba-tiba pergi ke negeri entah
(tuhan mengarahkan langkah kalian menuju taman
di dalamnya mengalir sungai susu, tumbuh bunga-bunga indah, dan ranumnya beragam buah)

telah lama indonesia terjebak dalam lusuhnya cermin kaca, tapi yakinlah kami masih mampu
membaca makna-membersihkan wajah indonesia
indonesia bercermin
indonesia berkaca
dalam derita
kami akan terus berjuang untukmu
dalam bahagia
kami akan senantiasa mengharumkan
namamu,
indonesia berkaca-anak-anak bangsa berusaha
terangkai do’a, senantiasa

Medan, 2001


BALADA MARNI GADIS TEMBUNG
karya: S. RATMAN SURAS

Matanya redup adalah sayap burung yang lelah
setelah terbang melintasi tanah jaluran kuburan yang resah
berhari-hari menyulam kain lusuh
disengat matahari terpercik gerimis tipis
yang menderas menjadi badai tipis

Ia lahir dari jaman serba bingung
bapak ibunya jawa generasi terkini
kakek buyutnya korban kuli kontrak kompeni
diperas keringatnya menanam tembakau deli
sampai bercucu-cicit di tanah ini

Sepetak kolam kangkung di tepi desa Tembung
harapan keluarga agar asap dapur terus membubung
walau hasilnya cekak ditilep harga yang terus melambung
sedang bapaknya cuma kenek kuli bangunan
bersepeda pancal kota yang tak nyaman

Selepas SMP Marni memberontak, saat ia ingin membeli bedak
ingin berpatut-patut di depan cermin yang telah retak
merias diri, merawat raga, sebab si Sarmin anak tetangga
perjaka muda sering mencuri wajahnya, dari balik rimbunan pisang
di suatu siang, ketika angin mulai semilir mengalir

Jika berladang tak lagi memberi harapan
tanah-tanah kebun jadi rebutan dan hunian
kebutuhan hidup makin merenggut
Marni bingung tentukan tujuan

Bersama Jirah teman kecilnya
yang telah gemilang meraih bintang
ia terpikat langsung berangkat, jadi TKW ke negeri seberang
gadis lugu nan ayu yang masih segar

Ketika tiba-tiba di negeri singa, Marni terjebak hitamnya lumpur
ia tertipu sindikat gelap dipaksa jadi gadis penghibur
hatinya pedih tersayat-sayat, impiannya seketika hancur
pada saat yang mendebarkan, ketika tangan-tangan kuat dan kekar
mulai gerayangan di sekujur molek tubuhnya yang terkapar

Marni berontak mulut terkatup batin gemeretak
ia jadi gelap mata untuk mempertahankan mahkota sucinya
dipecahkannya sebuah botol minuman beralkohol
ditikamnya perut buncit toke asing berduit
darah segar muncrat menggenang di lantai kamar

Kini ia hidup heboh dalam cerita berita duka-lara
namanya menghias menyita media massa dua negara bertetangga
orang-orang saling lempar tentang kebenarannya
kerabat dan bapak-ibunya di Tembung berpayung langit murung
anak gadisnya terancam hukuman gantung

SAJAK SEBATANG LISONG
karya: W.S. Rendra

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-ka
nak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.


BELAWAN, KISAH SEBINGKAH KOTA
karya: HASAN AL BANNA

/1/
laut keriput, terasa aroma garam masam
dan kecut
saksikan bahu laut lebam menanggungkan
riuh-lalang perjalanan
lalu udara yang bersiut
seperti serbuk-serbuk besi tua
berat dan berkarat

ke mana camar-camar terbang
sambil menyandang sebuntal luka?

aroma tuak
menjalar dari riuk-derak lapak
kerumun laki-laki bersuara teriak
bernyanyi sambil meletuskan gelak
lantas tergeletak
dan selalu, bait-bait lagu
terperangkap di lingkar gitar tua

mmh, para gelandangan dan orang gila
senantiasa gagal mendirikan rumah

ruko-ruko renta
hasil senggama cina dan belanda
berjejer berhadap-hadap di kerut kota
aha, remuk-muram itu rupa
seperti para perempuan yang sejak lampau
kehilangan meja rias
dan yang tak pernah mengenal lelaki

/2/
dermaga adalah tubuh yang geletar
tapi tetap setia pada janji: “hai, turunkan saja
debar jangkar ke dangkal darahku
sekali waktu, tanpa aba-aba
laut akan mengokang badai
o, kapal-kapal yang kuyup
kemari, kalian akan kurangkul!”

masih adakah dada-dada yang berdebar
mendengar terompet kapal yang parau?

tapi dari ringkih kapal
cuma satu dua turis yang turun melancong
menelusur jalanan usang
atau sekadar menyodorkan cibiran
“buah tangan apa yang pantas
ditukar dengan dolar? Dan kekaguman
macam apa yang musti kami decakkan?”

amboi, adakah laut umpama kekasih
yang enggan mengirim kado?

ah, samar suara mesin sampan pencari ikan
adalah hasrat yang sekarat
berkisah tentang birahi laut
yang senantiasa luput terpagut
atau seperti igau para nelayan:”Tuhan, hanya
tengkorak ikan
yang terjebak di cemas jala!”

/3/
ai, apa yang merayap meniru seok kelabang
adalah kereta api barang, menggendong
gerbong panjang
menafsir jarak antara datang dan pulang
roda dan rel bak dua kelamin besi
yang memintal rindu
tapi tak pernah memercikkan api cemburu

anak-anak teramat lihai menanggal seragam sekolah
bereklebat menjelma bajing

demi menaklukkan terik yang berkelok dan terjal
truk-truk bermesin raung, batuk-batuk
berpundak lapuk, bernapas engah
memanggul peti kemas demi peti kemas
menyeret beban tak berkesudahan
merontokkan pitam asap
dan merentang beribu kelambu debu

entahlah, hilir-mudik orang-orang
semacam bayangan kelam yang menyedihkan

nun, kuli-kuli bertubuh hangus
bersaku tandus
masih terlatih mengintai sekeping harapan
tapi, bah, para tukang pungli
seperti berpinak dari rahim tikus
rakus
kapan mereka mampus?

Belawan-Medan,2006-2008

PILIHAN PUISI LOMBA BACA PUISI KATEGORI A (10- 15 TAHUN) AMUK TEATER LKK UNIMED

TANPA NAMA
karya: Dharmadi

hanya sebuah nama, kenapa mesti dibawa
kemana-mana; perjalanan belum juga sampai, nama
memberat, saatnya dilepas ditanggalkan.

diletakkan namanya di tengah kuburan
di bawah pohon kanthil yang tumbuh bersisian
kamboja lebat kembang.

kembali berjalan;

tanpa nama
tanpa tanda

ke mana-mana

kadang disapa
semakin dialpa


karya: Muhammad Yamin

Hijau tampaknya Bukit Barisan
Berpuncak Tanggamus dengan Singgalang
Putuslah nyawa hilanglah badan
Lamun hati terkenal pulang
Gunung tinggi diliputi awan
Berteduh langit malam dan siang
Terdengar kampung memanggil taulan
Rasakan hancur tulang belulang
Habislah tahun berganti jaman
Badan merantau sakit dan senang
Membawakan diri untung dan malang
Di tengah malam terjaga badan
Terkenang bapak sudah berpulang
Berteduh selasih kemboja sebatang


Kepada Peminta-minta
karya: Chairil anwar

Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku

Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga

Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah

Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku

Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku

KOTA KECIL
karya: LAZUARDI ANWAR

Kota kecil
dipukul ombak
tenang menatap
samudera.

Kota kecil di pantai barat
dipukul ombak zaman ke zaman
camar bermain di lidah senja
tenang menatap samudera.

Kota kecil kota tertinggal
lama sudah tidak memberita
adalah pariaman
adalah kotaku sayang tanah kelahiran.

Kota kecil
dipukul ombak
tenang menatap

tenang mengharap.                                                           

(pilihan Naskah lomba monolog) Tumor karya M. Raudah Jambak

PENTAS BISA DIMANA SAJA. BISA MENGGAMBARKAN APA SAJA. LAMPU BRMAIN SUASANA. MUSIK BERMAIN SITUASI. TERSERAH. TAPI YANG JELAS SEORANG LELAKI TERLIHAT SIBUK. DENGAN BERPAKAIAN YANG TERSERAH. MEMBOLAK-BALIKKAN LEMBAR KORAN. SEOLAH MENCARI SESUATU. MEMBUKA HALAMAN DEMI HALAMAN BUKU. MENCARI DI FILE KOMPUTER. MENULISKAN SESUATU DIKERTAS. MEMBUANGNYA. MENULIS SESUATU DI KERTAS, LALU MEROBEK-ROBEKNYA. MENGACAK-ACAK RAMBUT. MENYERUPUT KOPI. KEMUDIAN MENGAMBIL SEBATANG ROKOK. MENYALAKANNYA. MENGHISAPNYA DALAM-DALAM. PENUH KENIKMATAN.
            LELAKI ITU TIDAK BERAPA LAMA BERGERAK MONDAR-MANDIR SEOLAH SEDANG MENCARI INSPIRASI BARU DAN TERKEJUT KETIKA IA MENGINJAK SESUATU DAN TERPELESET.
Aduh....! sialan ! Siapa yang membuah sampah sembarangn ! Binatang ! Jin tanah, jin api, jin air, jin udara. Jin segala jin ! Setan ! Sumpah ! Eh, maaf. Ada kalian. Dan mumpung ada kalian, aku mau bertanya. Ah, tak usah kuatir. Aku masih bisa kontrol. Ya, iyalah. Sebab kontrol adalah nama lain dari nama asliku. Nama asliku? Aku Syaiful. Hehehe. Tenang. Boleh aku bertanya kan? Boleh? Oke. Trims. Siapa ya kira-kira yang membuah sampah sembarangan ini? Tak apa-apa. Aku mau kasih sesuatu. Kalau dia laki-laki akan kuajak diskusi. Bukan konfrontasi. Nah, kalau dia perempuan akan kujadikan ... hus, bukan istri, tapi inspirasi ... hehehe,,, ah, masak!? Kalian menuduh. Aku!? Ya, sudahlah. Kalau memang aku, berarti tidak ada persoalan. Walaupun sebenarnya aku sering bermasalah dengan diriku sendiri. Ya, sudahlah. Ooo, anu... tunggu sebentar.
LELAKI ITU SECEPAT KILAT MENCARI-CARI SESUATU DI LACI. DI ATAS MEJA DAN DITUMPUKAN-TUMPUKAN SAMPAH. LALU TERTAWA SUMRINGAH KETIKA MENEMUKAN SEBUAH KERTAS YANG SUDAH REMUK. KEMUDIAN MENARI-NARI KEGIRANGAN.
Ah, ini dia. Hahaha. Aku sedang melakukan riset dan menjadikannya cerpen. Bukan begitu. Ini contoh keseriusanku. Aku menulis karena itu aku ada. Aku ada karena itu menulis. Hehehe. Ah, coba kalian simak. Ya, simak. Tidak. Aku tidak akan terlihat sentimentil. Aku akan membaca cuplikannya berapi-api. Ya. Begitu. Nah, begini.
LELAKI ITU LALU MULAI MEMBACA. SEPERTI SEORANG DEKLAMATOR
Diruas ranting perjalanan semut semut beriringan. Hari sekuning cahaya. Embun yang terus menerus menitik tadi pagi, sudah lama mengering. Melahirkan debu. Di antara semut yang beriringan, seekor diantaranya, terpeleset jatuh. Tepat diatas daun yang yang berlayar bersama air mengalir. Arusnya sangat perlahan, seperti seekor ulat yang merayap dipatahan-patahan ranting. Ini bulan yang kesekian.
LELAKI ITU BERHENTI MENYERUPUT KOPI. LALU MELIRIK KE PENONTON. ADA PERASAAN MALU.
Hehehe. Sebenarnya, cerita ini hampir seratus persen bercerita tentang aku. Apa!? Tidak percaya!? Ya, sudahlah, kalian dengarkan saja. Aku tulis nama tokohnya. Kubaca ya!? Terimakasih.
LELAKI ITU MENCARI BARIS-BARIS DALAM TULISAN DAN MELANJUTKAN MEMBACA LAGI.
Lelaki itu tercenung. Tatapan mataya menahun. Tak lepas memandang ranting, daun, semut, ulat, maupun aliran air yang mengalir. Hari masih sekuning cahaya. Pada dahi lelaki itu telah tercatat baris-baris beban. Begitu buram. Pikirannya kembali terbang di pinggir ranjang. Perempuan itu, istrinya, mengangis tersedu-sedu. Lelaki itu seperti kehilangan kata. Tak mampu harus berbuat apa.
MENATAP KE ARAH PENONTON. WAJAHNYA AGAK SEDIKIT KECEWA.
Mengapa kalian diam? Tak enak ya? Wah, pikiran kalian sama dengan pikiran istriku. Hanya mungkin lebih beringas. Malah tanpa sebab, ia pernah meminta cerai padaku.”Pokoknya, aku mau pisah. Aku minta cerai. Titik!” aku Cuma bisa diam. Hatiku serasa kelam. Katanya lagi, “ Kalau abang tidak mau, jangan salahkan kalau nati rumah ini penuh dengan nisan!”
LELAKI ITU MERAS TUBUHNYA SEKETIKA LEMAS. IA JALAN PERLAHAN MENGAMBIL. KURSI LALU DUDUK DENGAN WAJAH YANG MURAM.
Waktu itu aku hanya terduduk di pinggir ranjang. Bibirku masih tetap terkatup.
LELAKI ITU PERLAHAN MENGAMBIL SEBATANG ROKOK DARI SAKUNYA MEMBAKARNYA, LALU MENGHISAPNYA DALAM-DALAM. MENERAWANG JAUH.
 Tatapan mataku mamaku di dinding. Pada sebuah foto perkawinan yang tergantung. Ada kebahagiaan yang tergurat jelas di sana. Bingkainya yang keemasan itu, menambah lengkapnya kebahagiaan kedua tokoh, foto pernikahan kami, yang tergambar abadi disana. Aku waktu itu masih terdiam. Hanya tatapan mataku yang menyebar kesetiap sisi dan sudut ruangan kamar. Aku masih ingat, betapa kamar kami telah menjadi saksi yang paling layak dipercaya. Demi mengingat itu hatiku memanas. Kalian tahu, demi perempuan itu segelanya rela kukorbankan. Tetapi apa yang kudapatkan. Lacur dasar lacur. Perempuan yang katanya istriku, yang paling kucintai melebihi segalanya itu, telah menghancurkanku kebahagiaan rumah tangga yang kami bina begitu rupa.
LELAKI ITU BERDIRI. ROKOK YANG BELUM HABIS ITU DICAMPAKKAN BEGITU SAJA DILANTAI. LALU LELAKI ITU MENGINJAK-INJAKNYA DENGAN PENUH KESAL.
Awalnya, aku berfikir. Ia sering marah-marah, karena aku selalu larut dalam tulisan. Kemudian, lupa menemaninya tidur. Lupa mengajaknya berbicara dan bercanda. Lupa segalanya. Kupikir itu. Kalian tidak percaya!? Ah, jangankan kalian istriku saja selalu menaruh curiga padaku. Lupakan. Lupakan saja. Aku hanya ingin menceritakan tentang istriku pada kalian. Isteriku yang selalu memarahiku kalau terlambat pulang kerumah. Isteri yang selalu memarahiku kalau aku sedang menerima telepon atau sms dari seorang perempuan yang sebenarnya belajar menulis kepadaku. Isteri yang kuanggap setia. Eh, ternyata...?
LELAKI ITU TERDIAM. DIA MENGAMBIL SESUATU DI SAKU CELANANYA. SEBUAH SAPU TANGAN. KEMUDIAN MENGHAPUS AIR MATANYA.
Bukan. Aku bukan menangis. Mataku erasa sedikit gatal saja. Mungkin terlalu lama menulis. Sehingga mataku terasa lelah. Sumpah. Aku tidak menangis. Aku marah. Coba kalian pikir. Disini. Ya disini, ditempat ini. Isteri yang sekarang kusebut perempuan itu, tiba-tiba datang memelukku. Sambil berteriak kegirangan ia menyamaikan sesuatu, “aku hamil, bang.” Isteri yang kusebut perempuan itu memelukku penuh gembiri. Aku segera melepaskan pelukan itu dengan tiba-tiba. Dia terkejut dan bertanya, “kenapa, bang?” mata isteri yang kusebut perempuan itu mulai berkaca. Kebahagiaan yang paling diimpikannya seolah raib begitu saja. “apa ada yang salah?” isteri yang kusebut perempuan itu bertanya lagi. Puih! Dia lalu menerorku dengan bebagai pertanyaan-pertanyaan yang paling tidak aku suka. “abang tidak bahagia dengan kehadiran anak kita?” isteri yang kusebut Perempuan itu menggoncang tubuhku. “Atau Abang berpikir yang tidak-tidak tentang aku?”
LELAKI ITU BANGKIT. IA MERASA BERSEMANGAT DAN PENUH KEMENANGAN.
Tahukah kalian apa yang kulakukan selanjutnya. Tidak!? Aku hanya diam. Ya, hanya diam. Ada beban dan sesuatu yang tak perlu kuucapkan. Ada kata-kata yang terbelah menjadi serpihan-serpihan tak berbentuk. Sejak itu, aku lebih memilih mengakrabkan diri dengan tulisan-tulisanku dan sebatang pohon jarak yang tumbuh tepat dipinggir parit di belakang rumah kami. Eh, maaf rumahku. Kenapa? Karena aku yang membelinya. Ya. Pada sebatang pohon jarak itu aku berdialog dengan kesunyian. Bercengkrama dengan kesepian. Karena aku merasa hatiku kosong begitu kosong.
LELAKI ITU BERGERAK MENGAMBIL GITAR BERNYANYI DENGAN SUARA YANG SETELAH GALAU. BERHENTI. MENYERUPUT KEMBALI KOPI KENTAL. YANG TERLALU LAMA DINGIN ITU
Mungkin hanya kalianlah yang mengerti perasaanku saat ini. Betapa sakitnya dikhianati. Bagaimana aku bisa bergembira dengan kehamilan isteriku. Tidak. Tidak samasekali. Aku tidak akan memberitahukannya pada kalian. Karena itu adalah aib. Mungkin pada saat yang tepat aku akan berbagi pada kalian. Aku lebih memilih diam. Termasuk pada isteri yang sekarang kusebut perempuan itu. Berhari-hari, bahkan sudah melewati bulan kedelapan, aku selalu seperti itu, jika tidak ada kesibukan lain yang memaksaku untuk berburu dengan waktu. Lalu teriakan, jeritan, tangisan isteri yang sekarang kusebut perempuan itu selalu membakar segala ketidakberdayaanku menjadi sebuah kekuatan. Adakah dari kalian yang cintanya dikhianati. Ya, persis. Akupun begitu! Sepakat!
LELAKI ITU TIBA-TIBA MENUJU KEARAH SUDUT-SUDUT RUANGAN. ADA PERASAN CURIGA. IA MERASA SEDANG DIAWASI. TETAPI KETIKA MERASA SEMUANYA AMAN IA KEMBALI LAGI. MENYERUPUT KOPI LAGI. DAN BERBISIK.
Aku sebenarnya begitu mencintainya. Tapi, aku malu mengakuinya. Pernah satu kali ia memaksaku untuk memeriksakan diri ke dokter. “Ayo kita ke dokter, periksa DNA,” ujar isteri yang sekarang kusebut perempuan itu terbata. Aku masih juga terdiam. Lalu isteri yang sekarang kusebut perempuan itu histeris, “Aku tidak akan pernah memeriksa kandungan ini.” Air matanya menderas.” jika Abang tidak mau ikut memeriksakan diri juga” Plak! Kata-kata itu seperti menamparku bertubi-tubi. Tapi, aku juga tetap diam, tidak mau bicara. Rasa malu, marah dan kecewa serasa berganti-ganti. Isteri yang kusebut perempuan itu berteriak lagi,”Abang tidak bisa selamanya terus begini,” ujar isteri yang sekarang kusebut perempuan itu sambil menyeka air mata,” Diam tidak akan pernah menyelesaikan segalanya!”
LELAKI ITU KEMBALI KE MEJA KERJANYA MENCARI-CARI SESUATU. DAN DIA SEPERTINYA TIDAK MENEMUKAN SESUATU.
Coba kutanya pada kalian. Jika kalian menerima musibah yang serupa dengan apa yang kalian lakukan? Marah? Benci? Atau diam? Nah, nah, nah. Akupun seperti tu. Aku hanya diam. Tetapi, isteri yang kusebut perempuan itu terus meracau. “Bicara!” isteri yang kusebut Perempuan itu berteriak sekuat-kuatnya, “Bicara!” isteri yang kusebut perempuan itu terus meracau. Berteriak. Menjerit. Berlari kesana kemari. Ia terus dan terus menjambak-jambak rambutnya. Menangis sejadi-jadinya. “jika kehamilan ini yang menjadi persoalan, maka aku akan menggugurkannya. Walau usia kandunganku ini sudah termasuk bulan kelahiran. Atau kita sebaiknya bercerai!” isteri yang kusebut Perempuan itu terus berteriak, “Pengecut! Banci! Kita cerai! Dengar! Aku mintai cerai!”
WAJAH LELAKI ITU TIBA-TIBA MENEGANG. ADA GEJOLAK YANG SEAKAN MENDESAK HENDAK MELEDAK
“Diam!” Aku mengerang. Gundahku meledak. Rokok yang sedari tadi bergantung disela-sela jariku, terloncat begitu saja. Nyaris mengenai isteri yang kusebut perempuan itu. Isteri yang kusebut Perempuan itu meradang. “Aku minta cerai! Titik!” Aku membalas. “Diam! Kalau aku bilang diam, diam!” Dia tak mau kalah, “Aku tidak akan pernah diam, jika Abang tidak jelaskan kepadaku tentang sikap Abang selama ini. Kebencian Abang yang begitu tiba-tiba kepadaku, terutama kepada calon anak kita. Dan Aku tidak akan pernah diam, kecuali Abang menceraikan aku. Aku minta cerai!” Aku tak mau kalah. “Aku benci padamu!Aku benci pada anak yang dikandunganmu! Aku benci diriku sendiri!” Kami terdiam beberapa saat. Isteri yang sekarang kusebut perempuan itu coba melunak. “Kenapa? Apanya yang salah?” desak perempaun itu,”seharusnya Abang bangga. Bangga dengan kehadiran anak kita. Anakmu, Bang?.” Aku menggeleng dan menghindar. Pandanganku jauh. Kukatakan padanya dengan suara berat dan tertahan. “Itu bukan anakku. Dengar itu bukan anakku!” Isteri yang sekarang kusebut perempuan itu berusaha untuk terus melunak. “Jadi, secara tidak langsung aku melakukannya dengan orang lain. Abang pikir, aku telah berzinah, aku selingkuh?!” Aku marah. Ya, aku marah terutama pada diriku sendiri. Kukatakan padanya. “Pokoknya anak itu bukan anakku. Titik!” aku lalu pergi begitu saja. Jiwaku mengerang. Waktu itu aku pergi dengan berjuta kekalahan, meninggalkan isteri yang sekarang kusebut perempuan itu. Isteri yang sekarang kusebut Perempuan itu ditumpuk-tumpuk amuk.
LELAKI TU TIBA-TIBA MENGMABIL KURSI DAN MELETAKKANNYA DIATAS MEJA. KEMUDIAN MENGAMBIL SESUATU DI TUMPUKAN KERTAS. BERDIRI DI SAMPING KURSI KEMUDIAN BERTERIAK-TERIAK SEOLAH DEKLAMATOR HANDAL.
Diruas ranting perjalanan semut semut beriringan. Hari sekuning cahaya. Embun yang terus menerus menitik tadi pagi, sudah lama mengering. Melahirkan debu. Diantara semut yang beriringan, seekor diantaranya, terpeleset jatuh. Tpat diatas daun yang berlayar bersama air mengalir. Arusnya kadang deras, kadang sangat perlahan , seperti seekor ulat yang merayap di patahan-patahan ranting. Angin berhembus disela-sela daun. Melintas begitu saja. Hari semakin beranjak jingga. Sayup dari kejauhan suara seseorang mengundang cemas.
LELAKI ITU BERHENTI. MENURUNI MEJA. LALU MENYERUPUT KOPI YANG TINGGAL AMPASNYA. MENGAMBIL SEBATANG ROKOK DAN MENYALAKANNYA. MENGHISAPNYA DALAM-DALAM. TATAPANNYA MENERAWANG.
Lama aku merenung. Tidak. Aku hanya merenung. Aku sadar. Aku tidak perlu egois. Sebenarnya aku malu. Tapi, aku harus tahu diri. Apalagi ketika tetanggaku datang tergesa-gesa menemuiku. “Kakak pingsan, Bang. Cepat. Operasinya lagi berjalan!”. Secepat angin, begitulah aku terbang. Menembus segala kegelisahan. Rasa maluku menjalar. Betapa tidak, sudah lama aku ingin mengatakan bahwa aku sudah tidak mampu memberikan keturunan kepada istri yang sekarang sudah kusebut isteriku. Batinku terus berontak. Rasa senang tidak ingin memiliki anak sudah kubuang jauh-jauh. Tetapi, istriku hamil? Isteriku tengah dioperasi. Istriku, ah. Dan isteriku tidak menyadari betapa aku ternyata begitu mencintainya. Aku juga merasakan rasa takut sekaligus rasa malu yang bukan kepalang, jika ketahuan. Secepat angin, begitulah aku datang. Menyambut dokter yang keluar dari ruang operasi seperti takut dan senang. “Selamat!” kata dokter itu. “Terimakasih, Dok. Apa anaknya, Dok. Sehatkan, Dok?” tanyaku hati-hati. “Anak siapa?”dahi dokter berkerut. Ia lantas tersenyum, “ooo, bukan. Istri Bapak tidak mengandung. Istri bapak terkena tumor. Dan kami berhasil mengangkatnya. Sekarang sedang beristirahat.” Aku was-was sekaligus puas, “Tapi katanya...hamil?” Aku merasa melayang ketika dokter itu menggelengkan kepala. Aku gembira. Bahagia! Aku ingin menari dan berpuisi!
LELAKI ITU LALU MELENGGAK-LENGGOKKAN TUBUHNYA. IA MENARI. IA BERPUISI.
Secepat arus air mengalir, begitu ia tergelincir. Secepat datang, secepat itu pula ia pergi. Senang dan benci begitu saja hadir silih berganti. Dan ini memang ramadhan kesekian.
LELAKI ITU TERUS MENARI DAN SEOLAH PEJUANG YANG MENANG DARI GELANGGANG PERANG IA NAIK KEATAS MEJA DAN BERTERIAK SEKUAT-KUATNYA
Istriku aku cinta padamu!
LAMPU PERLAHAN PADAM. MUSIK PERLAHAN DIAM. PADAM
SELESAI

Medan, KOMUNITAS HOME POETRY, 06-12-14
BIODATA

M.Raudah Jambak, S.Pd, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Pernah bersingguangan di Komunitas Forum Kreasi Sastra, Komunitas Seni Medan, Komunitas Garis Lurus, Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia, Komunitas Sastra Indoneisa, Seniman Indonesia Anti Narkoba, dll. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMK, Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi Medan. Alamat tugas : Jalan Jenderal Gatot Subroto Km 4,5 Medan, Sumatera Utara. Hp 085830805157. Kontak Person TBSU- Jl. Perintis Kemerdekaan, no. 33 Medan. Saat ini sebagai Direktur Komunitas Home Poetry. Kegiatan terakhir mengikuti Temu Sastrawan III di Tanjung Pingan. Cukup banyak kegiatan yang digeluti sejak SD yang berkaitan denan seni, sastra dan budaya. Lokal, nasional, maupun Asia Tenggara. Secara nasional dimulai pada event PEKSIMINAS di Jakarta (Teater, 1995), LMCP_LMKS di Bogor (sampai 2008), MMAS Guru-guru se Indonesia di Bogor (2008), work shop cerpen MASTERA, di Bogor(2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta, TSI 1-3, Juara Unggulan 1 Tarung Penyair Se-Asia Tenggara di Tanjung Pingan. Nominasi cipta puisi nasional Bentara, Bali, dll. 

(pilihan naskah lomba monolog) Demokrasi karya Putu Wijaya

(DAPAT DIMAINKAN OLEH LELAKI ATAU PEREMPUAN)
SEORANG WARGA DESA YANG TANAHNYA KENA GUSUR MEMBAWA PLAKAT BERISI TULISAN DEMOKRASI. SETELAH MEMANDANG DAN PENONTON SIAP MENDENGAR, IA BERBICARA LANGSUNG.

Saya mencintai demokrasi. Tapi karena saya rakyat kecil, saya tidak kelihatan sebagai pejuang, apalagi pahlawan. Namun, saya tak pernah masuk koran. Potret saya tak jadi tontonan orang. Saya hanya berjuang di lingkungan RT gang Gugus Depan.
Di RT yang saya pimpin itu, seluruh warga pro demokrasi. Mereka mendukung tanpa syarat pelaksanaan demokrasi. Dengan beringas mereka akan berkoar kalau ada yang anti demokrasi. Dengan gampang saya bisa mengerahkan mereka untuk maju demi mempertahankan demokrasi. Semua kompak kalau sudah membela demokrasi.
MENGACUNGKAN PLAKATNYA.


Demokrasi!
TERDENGAR SERUAN WARGA BERSEMANGAT MENYAMBUT : DEMOKRASI!
Demokrasi!
SERUAN LEBIH HANGAT LAGI :
Demokrasi!
SERUAN GEGAP GEMPITA : DEMOKRASI! IA MENURUNKAN PLAKAT.
Bener kan? Hanya salahnya sedikit, tak seorang pun yang benar-benar mengerti apa arti demokrasi.
MENIRUKAN SALAH SEORANG WARGANYA.
“Pokoknya demokrasi itu bagus. Sesuatu yang layak diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Sesuatu yang memerlukan pengorbanan besar. Sesuatu yang menunjang suksesnya pembangunan menuju ke masyarakat yang adil dan makmur.” Kata mereka.
Saya kira itu sudah cukup. Saya sendiri tak mampu menerangkan apa arti demokrasi. Saya tidak terlatih untuk menjadi juru penerang. Saya khawatir kalau batasan-batasan saya tentang demokrasi disalahgunakan. Apalagi kalau sampai terjadi perbedaan tafsir yang dapat menjadikannya kemudian bertolak belakang. Atau mungkin, karena saya sendiri tidak benar-benar tahu apa arti demokrasi.
Pada suatu kali, RT kami yang membentang sepanjang gang Gugus Depan dapat kunjungan petugas yang mengaku datang dari kelurahan. Pasalnya akan diadakan pelebaran jalan, sehingga setiap rumah akan dicabik dua meter. Petugas itu menghimbau, agar kami, seperti juga warga yang lain, merelakan kehilangan itu, demi kepentingan bersama.
MENIRUKAN PETUGAS.
“Walaupun hanya dua meter, tapi sumbangan saudara-saudara sangat penting artinya bagi pengembangan dan kepentingan kita bersama di masa yang akan datang. Atas nama kemanusiaan kami harap saudara-saudara mengerti.”
NAMPAK BINGUNG.
Warga kami tercengang. Hanya dua meter? Kok enak saja mengambil dua meter, demi pembangunan. Pembangunan siapa? Bagaimana kalau rumah kami hanya enam meter kali empat. Kalau diambil dua meter kali enam, rumah hanya akan cukup untuk gang. Kontan kami tolak. Bagaimana bisa hidup dalam gang dengan rata-rata lima orang anak?
Tidak bisa itu tidak mungkin!
“Tapi ini sudah merupakan keputusan bersama,” kata petugas tersebut.
Kami semakin tercengang saja. Bagaimana mungkin membuat keputusan bersama tentang rumah kami, tanpa rembukan dengan kami. Sepeti raja Nero saja.
“Soalnya masyarakat di sebelah sana,” lanjut petugas itu sambil menunjuk ke kampung di sebelah, “mereka semuanya adalah karyawan yang aktif pabrik tekstil. Semua memerlukan jalan tembus yang bisa dilalui oleh kendaraan. Dengan difungsikannya gang Gugus Depan ini menjadi jalan yang tembus kendaraan bermotor, mobilitas warga yang hendak masuk ke pekerjaan atau pulang lebih cepat. Itu berarti efisiensi dan efektivitas kerja. Mikrolet dan bajaj akan bisa masuk. Itu akan merupakan sumbangan pada pembangunan. Dan pembangunan itu akan dinikmati juga oleh kampung di sebelahnya, karena sudah diperhitungkan masak-masak.”
Diperhitungkan masak-masak bagaimana? Kami tidak pernah ditanya apa-apa? Tanah ini milik kami, bantah saya.
Tak lama kemudian, sejumlah warga dari kiri kanan kami datang. Mereka menghimbau agar kami mengerti persoalan kami. Mereka mengatakan dengan sedikit pengorbanan itu, ratusan kepala keluarga dari kiri kanan kami akan tertolong. Mereka menggambarkannya sebagai perbuatan yang mulia. Setelah menghimbau mereka mengingatkan sekali lagi, betapa pentingnya pelebaran jalan itu. Setelah itu mereka mengisyaratkan betapa tak menolongnya kalau kami tidak menyetujui usul itu. Dan setelah itu mereka mewanti-wanti, kalau tidak bisa dikatakan mengancam.
MENIRUKAN WARGA KAMPUNG SEBELAH.
Kalau saudara-saudara menghambat, menghalang-halangi atau berbuat yang tidak-tidak sehingga pelebaran jalan itu tak dilaksanakan, sesuatu yang buruk akan terjadi.
NAMPAK MAKIN BINGUNG.
Berbuat yang tidak-tidak? Tidak-tidak apa? Kami terjepit di antara kepentingan orang banyak . Belum lagi kami sempat bikin rapat untuk melakukan perundingan, pelebaran jalan itu sudah dilaksanakan.
TERDENGAR SUARA MESIN MENGERAM.
Tanpa minta ijin lagi, sebuah bulldozer muncul dan menggaruk dua meter wilayah RT kami. Warga kami panik. Jangan! Jangan! Ini tanah kami. Sejak nenek-moyang kami sudah di sini. Dulu kakek-kakek kami tanahnya lebar, tiap orang punya tegalan dan dua tiga rumah, tapi semua itu sudah dibagi-bagi anak cucu, ada yang sudah dijual. Tapi ini tanah warisan.
Bulldozer itu tidak peduli. Mereka terus juga menggaruk. Jangan Pak! Jangan! Kalau Bapak ambil dua meter, rumah kami tinggal kandang ayam. Kami tidak mau kampung kami dijadikan jalan. Nanti ke mana anak-anak kami akan berteduh?
Jangan! Jangan Pak! Kita belum selesai berunding! Kami tidak pernah bilang setuju! Diganti berapa pun kami tidak akan mau. Ini harta kami satu-satunya sekarang.
Jangan Pak!
Tapi bulldozer itu terus juga menyeruduk dengan buas. Sopirnya tidak peduli. Dia hanya menjalankan tugas. Akhirnya kami tidak bisa diam saja. Kami semua terpaksa melawan. Saya tidak bisa mencegah warga rame-rame keluar dari rumah. Mereka berdiri di depan bulldozer itu.
Ini tanah kami, akan kami pertahankan mati-matian. Dibeli ratusan juta juga kami tidak sudi, sebab kami tidak mau pindah dari tempat nenek moyang kami. Anak-anak dan perempuan kami pasang di depan, sesudah itu orang-orang tua, lalu saya dan bapak-bapaknya.
Baru bulldozer itu berhenti.
SUARA MESIN BERHENTI. SENYAP..
Sopir yang menjalankan bulldozer itu ngeper juga melihat kami. Dia turun dari kendaraan dan berunding dengan teman-temannya. Kami menunggu apa yang akan terjadi. Lama juga mereka berunding. Beberapa anak main-main mendekati bulldozer itu dan memegang-megangnya. Kendaraan itu kuat, baru, dan bagus. Beberapa ibu-ibu duduk di jalan meneteki anak-anaknya. Saya sendiri mengambil keputusan kencing karena terlalu tegang.
Akhirnya mereka selesai berunding. Sopir itu kembali naik ke atas bulldozernya. Dia tersenyum. Kami merasa lega. Mereka pasti baru menyadari mereka sudah salah. Mesin dihidupkan kembali.
KEMBALI SUARA MENGERAM.
Kami menunggu dengan deg-degan. Waktu itu sebuah mobil colt datang. Sekitar sepuluh orang laki-laki meloncat turun dengan memakai pakaian seragam. Kami besorak, melihat akhirnya aparat datang untuk melindungi rakyat. Tapi berbareng dengan itu bulldozer itu menerjang kembali ke depan menggaruk tanah. Perempuan-perempuan itu menjerit. Beberapa anak jatuh, salah seorang diantaranya kena garuk. Untung ada yang meloncat naik dan menarik anak itu. Keadaan jadi kacau.
Orang-orang berseragam itu berlarian datang. Ternyata mereka bukan petugas, tetapi satpam yang mau mengamankan penggarukan. Mereka membawa pentungan yang sudah siap untuk memukul. Kami seperti kucing yang kepepet. Tanpa diberi komando lagi, kami melawan.
Anak-anak mengambil batu dan melempar. Asep, bapak anak yang hampir kena garuk bulldozer itu meloncat ke atas bulldozer, mau menarik sopirnya. Tapi tiba-tiba sopir bulldozer itu menghunus parang yang disembunyikannya di bawah tempat duduk, langsung membacok pundak Asep.
Asep tumbang berlurumuran darah. Perempuan-perempuan dan anak-anak menjerit, lalu kabur menyelamatkan diri. Kami para lelaki hampir saja mau meyerang, tapi kemudian sebuah truk datang. Puluhan orang yang kelihatan ganas-ganas melompat turun dan menerjang kami sambil membawa senjata tajam. Saya kenal salah satu di antaranya bajingan di Proyek Senen.
Kami terpaksa mundur. Saya melarikan Asep ke rumah sakit. Untung saja tidak lewat. Barangkali pembacoknya memang tidak berniat membunuh, hanya kasih peringatan.
MELETAKKAN PLAKAT. LALU MEMBUKA PAKAIANNYA, SALIN.
Saya bingung. Akhirnya setelah putar otak, saya beranikan diri mengunjungi pabrik tekstil, majikan warga yang menginginkan jalan pintas itu. Saya memakai batik (kebaya dan jarik kalau pemainnya perempuan) supaya kelihatan resmi dan sedikit dipandang.
MEMAKAI BATIK/JARIK.
Tapi susah sekali. Orangnya selalu tidak di tempat. Baru setelah mengaku petugas kelurahan, akhirnya saya diterima.
Direktur itu kaget setelah mengetahui saya bukan petugas tapi korban penggusuran. Tetapi ia cepat tersenyum ramah, lalu mengguncang tangan saya. Begitu saya semprot bahwa kami tak sudi dipangkas, dia bingung. Kepalanya geleng-geleng seperti tak percaya. Lalu ia memanggil sekretaris. Setelah berunding bisik-bisik, ia kembali memandangi saya seperti orang stress.
MENIRUKAN DIREKTUR PABRIK TEKSTIL YANG DIALEKNYA RADA CADEL/ASING.
“Tuhan Maha Besar, saya tidak tahu ini. Saya minta maaf. Saya tidak memperbolehkan siapa saja membuat tindakan-tindakan pribadi atas nama perusahaan. Para karyawan sudah diberi uang transport. Kalau mereka perlu jalan pintas, mungkin karena ingin menyelamatkan uang transport itu. Itu di luar tanggung jawab perusahaan. Pembuatan jalan itu bukan tanggung jawab kami. Saya minta maaf. Saya mohon anda menyampaikan rasa maaf saya kepada seluruh warga,” katanya dengan sungguh-sungguh.
Saya mulai senewen. Saya tak percaya apa yang dikatakannya. Ini sandiwara apa lagi. Saya bukan orang bodoh, saya tidak mau dikibulin mentah-mentah begitu. Saya tahu dia hanya pura-pura. Mulutnya yang manis, tingkah lakunya yang sopan itu tidak bisa mengelabui saya. Saya bisa mengendus apa yang disembunyikannya di balik topengnya itu. Orang kaya raya begitu, berpendidikan tinggi, luas pandangannya, pasti tahu apa sebenarnya yang terjadi. Tidak mungkin dia tidak paham apa artinya dua meter tanah buat kami, meskipun bagi dia 200 hektar itu hanya seperti upil. Orang yang pasti sudah bolak-balik ke luar negeri itu masa tidak tahu, kami, paling sedikit saya ini tahu, bukannya para karyawannya itu yang serakah mau menyelamatkan uang makan, tapi dia sendiri yang memang mau mencaplok pemukiman kami. Nanti lihat saja, kalau jalan sudah dibuat, uang makan akan distop, karyawannya akan disuruh jalan kaki datang. Tai kucing, Rai gedek! Sudah konglomerat begitu, menyelamatkan uang receh saja pakai menyembelih rakyat.
Aku tahu! Aku tahu! Kasih tahu warga semuanya apa yang sudah terjadi. Aku adukan nanti kepada Jaksa Agung! Beliau itu dulu waktu masih miskin sering mampir di warung saya! Biar orang semacam ini ditindak. Asu! (MENYUMPAH-NYUMPAH KOTOR DALAM BAHASA DAERAH)
DIA MENYABARKAN DIRINYA, KARENA KATA-KATANYA SEPERTI SUDAH TAK TERKENDALI.
Betul. Orang kecil seperti saya ini memang kelihatannya lemah dan gampang ditipu. Karena kami sadar pada diri kami sehingga kami selalu menahan diri. Tapi kalau sudah kebangetan seperti ini, saya meledak juga. Semut pun kalau diinjak terus akan menggigit.
Karena terlalu marah, saya tidak bisa ngomong lagi. Muka saya saja yang kelihatan merah. Dia mengerti. Saya siap untuk meledak. Dia semakin marah, semakin halus bicaranya. Saya diperlakukan sebagai tamu terhormat. Tapi saya terus maju. Ini perjuangan.
Dia menyuguhkan makanan dan minuman. Saya tolak. Saya datang bukan untuk bertamu atau ramah-tamah. Saya membawa suara rakyat, menuntut keadilan. Keadilan untuk kami saja.
Kami tidak minta apa-apa, kami hanya minta tanah kami yang dua meter itu jangan diganggu. Itu hak kami! Titik.
Di atas meja dihidangkan kue-kue yang lezat. Hhhh! Tapi saya tidak sudi menjamah, Sebelum tuntutan kami didengarkan. Dia mencoba bertanya tentang keluarga saya, anak saya kelas berapa. Ah, itu kuno. Saya tahu itu taktik untuk memancing pengertian.
Dia juga berbasa-basi menanyakan bagaimana keadaan Asep. Lho saya jadi tambah curiga. Jadi dia tahu sekali apa yang terjadi. Mungkin dia yang menyuruh sopir itu membacok Asep, karena Asep juga pernah memprotes pembungan limbah dari pabrik yang mengalir ke selokan di depan rumah kami.
Saya bertekad, saya tidak akan pergi dari kantor itu sebelum ada keputusan membatalkan perampokan dua meter tanah kami untuk jalan. Saya ditunggu oleh warga.
Saya hanya mau pergi kalau ada keputusan yang menguntungkan rakyat kecil!
Akhirnya dia mengangguk, tanda dia mengerti. Kemudian dia menunduk dan membuka laci mejanya mengambil kertas. Saya bersorak dalam hati. Akhirnya memang kunci segala-galanya pada kegigihan. Kalau kita getol berjuang pasti akan berhasil.
Tetapi kemudian darah saya tersirap, karena direktur itu mengulurkan kepada saya sebuah amplop coklat yang tebal. Saya langsung tak mampu bernapas.
DARI ATAS JATUH SEBUAH AMPLOP RAKSASA BERISI TULISAN RP. 250.000.000. DUA RATUS LIMA PULUH JUTA RUPIAH. TULISAN MELAYANG SETINGGI DADA DI DEPANNYA. IA GEMETAR.
Tebal, coklat, apalagi di tas amplop itu tertera 250.000.000. Dua ratus lima puluh juta. Ya Tuhan banyaknya. Saya belum pernah memegang uang sebanyak ini. Dua ratus lima puluh juta?
MENGHAMPIRI AMPLOP. MENYENTUH DENGAN GEMETAR, TAK PERCAYA, RAGU-RAGU, GEMBIRA, KEMUDIAN MEMEGANGNYA.
Dua ratus lima puluh juta. Dua ratus lima puluh kali hidup lagi juga saya tidak akan sanggup mengumpulkan uang sebanyak ini. Ya Tuhan, alangkah miskinnya saya. Mengapa tiba-tiba saya dihujani rizki sebanyak ini.
MEMELUK AMPLOP ITU. MENGANGKATNYA. MENJUNJUNGNYA. MEMBAWANYA KE SANA KEMARI. KEMUDIAN MENGEKEPNYA. LALU MENARIKNYA KE BAWAH. MEMELUKNYA. SEPERTI KUCING YANG BERMAIN-MAIN DI ATAS KERTAS, IA TERLENTANG, TENGKUREP DI ATAS UANG ITU SAMBIL MENCIUM-CIUMNYA. KEMUDIAN IA MASUK KE DALAM AMPLOP, SEPERTI ANJING YANG MENGOREK-OREK TONG SAMPAH DENGAN BERNAFSU DAN NGOS-NGOSAN. AKHIRNYA IA MENGGULUNG DIRINYA DENGAN AMPLOP UANG ITU.
Dua ratus lima puluh juta. Apa yang tidak bisa dibeli dengan uang sebanyak itu. Alhamdulillah! Saya bisa perbaiki rumah, kredit motor, jadi tukang ojek, bayar SPP. Saya bisa kirim uang sama orang tua.
Puji syukur Tuhan, akhirnya Kau kabulkan doa kami setiap malam, supaya bisa mengubah nasib, jangan terus terjepit di tempat kumuh ini seperti kecoa.
MENGANGIS KARENA GEMBIRA DAN TIDAK PERCAYA. KEMUDIAN DIA BERDIRI KEMBALI DAN MEMELUK AMPLOP BESAR ITU, SAMA SEKALI TAK MAMPU MELEPASKANNYA.
Saya gemetar. Saya tak menanyakan lagi berapa isi amplop itu. Untuk apa 250 juta itu. Saya tidak perlu lagi menanyakannya. Saya hanya menerimanya, lalu menyambut uluran tangannya. Lantas terbirit-birit pulang. Takut kalau amplop itu ditarik lagi. Saya ambil jalan belakang, sehingga tak seorang warga pun tahu saya barusan datang dari rumah direktur.
Saya kumpulkan keluarga saya dan menjelaskan kepada mereka, bahwa sejak hari itu hidup kami akan berubah. Doa kita sudah dikabulkan.
MELEPASKAN KEMBALI AMPLOP. AMPLOP BESAR NAIK KEMBALI, MELAYANG DI ATAS KEPALANYA.
Esok harinya, ketika para warga gang Gugus Depan kembali mendatangi saya untuk mendengarkan hasil rembukan saya dengan Pak Direktur untuk selanjutnya menetapkan tindakan apa selanjutnya yang harus dilakukan, saya memberi wejangan.
Saudara-saudara warga semuanya yang saya cintai. Memang berat kehilangan dua meter dari milik kita yang sedikit. Berat sekali. Bahkan terlalu berat. Tetapi itu jauh lebih baik daripada kita kehilangan nyawa. Lagipula semua itu untuk kepentingan bersama. Kita semua mendukung demokrasi dan sudah bertekad untuk mengorbankan apa saja demi tegaknya demokrasi. Di dalam demokrasi suara terbanyak yang harus menang. Maka sebagai pembela demokrasi, kita tidak boleh dongkol karena kalah. Itu konsekuensinya mencintai demokrasi. Demi demokrasi, kita harus merelakan dua meter untuk pembuatan jalan yang menunjang pembangunan ini. Demi masa depan kita yang lebih baik.
Seluruh warga yang saya pimpin tak menjawab. Seperti saya katakan, mereka semuanya pembela demokrasi. Kalau atas nama demokrasi, mereka relakan segala-galanya. Satu per satu kemudian mereka pulang.
Hei tunggu dulu, saya belum selesai berbicara!
Kuping mereka buntet. Tanpa peduli rapat belum rampung, semuanya pergi.
Tunggu! Tunggu!
Tak ada yang menggubris. Semuanya ngacir. Tinggal saya sendiri dan seorang tua. Tapi dia tidak pergi karena suka tapi karena kakinya semutan. Setelah reda dia juga berdiri dan pergi sambil ngedumel.
“Kalau memang demokrasi itu tidak melindungi kepentingan rakyat kecil, aku berhenti menyokong demokrasi. Sekarang aku menentang demokrasi!”
TERDENGAR SUARA SORAK DAN YEL-YEL YANG TIDAK JELAS. SEPERTI ADA KERIBUTAN. LALU SUARA TEMBAKAN. BARU SEPI KEMBALI.
Sejak saat itu semuanya benci kepada demokrasi. Sejak hari itu, warga RT Gugus Depan yang saya pimpin kompak menolak demokrasi. Hanya tinggal saya sendiri, yang tetap berdiri di sini. Teguh dan tegar. Tidak goyah oleh topan badai. Tidak gentar oleh panas dan hujan. Saya tetap kukuh tegak di atas kaki saya, apa pun yang terjadi siap mempertahankan demokrasi, sampai titik darah penghabisan.
Habis mau apa lagi? Siapa lagi kalau bukan saya? Daripada diberikan kepada orang lain?
DENGAN SUARA YANG GEMURUH AMPLOP BESAR ITU JATUH MENIMPA, DIIKUTI OLEH BANYAK AMPLOP LAINNYA YANG LEBIH BESAR, SEHINGGA IA JATUH DAN TERTIMBUN OLEH AMPLOP.

LAMPU MEREDUP DAN PADAM. SELESAI.

(pilihan naskah lomba Monolog) Rick dari Corona karya Puisi RENDRA Adaptasi naskah AFRION

ADEGAN PERTAMA

AKU BERJALAN MEMASUKI STASIUN TREM BAWAH TANAH DI QUEEN PLAZA NEW YORK. SEPERTI SEORANG YANG RISAU HATI, AKU MENENDANG BENDA-BENDA DILANTAI STASIUN, MELEMPAR SESUATU LALU MENGAMBIL SATU KALENG CAT DAN KUAS. AKU MENGGAMBAR WAJAH SEORANG PEREMPUAN  NEGRO KEMUDIAN MENULISKAN KALIMAT


Rick dari Corona telah di sini.
Di mana engkau, Betsy?



AKU                 :  Di Queenz Plaza
di stasion trem bawah tanah
ada tulisan di satu temboknya:
“Rick dari Corona telah di sini.
Di mana engkau, Betsy?”


AKU MELOMPAT DARI SATU TEMBOK STASIUN KE SATU TEMBOK YANG LAIN DAN BERHENTI MELOMPAT SAMPAI PADA TEMBOK YANG TINGGI. TANGANKU KEMUDIAN MENULISKAN LAGI KALIMAT :

Rick dari Corona telah di sini.
Di mana engkau, Betsy?


AKU MELUKIS TUBUH PEREMPUAN DENGAN WARNA WARNA CAT YANG KUAMBIL DARI KALENG KALENG CAT DI SUDUT LANTAI STASIUN. LALU AKU BERGERAK LAGI  KE UJUNG LANTAI STASIUN MELOMPAK KE BANTARAN REL.  SUARA TREM BAWAH TANAH LEWAT MELAJU DI HADAPANKU.

AKU                 :  Ya.
Rick dari Corona telah di sini.

(DIAM MEMANDANGI TUBUHNYA)

                           Di mana engkau, Betsy?


AKU MEMBAYANGKAN BETSY HADIR DIHADAPANKU, TANGANNYA YANG HALUS DAN LEMBUT MENGAGETKAN DIRIKU

AKU-BETSY      :  Akulah Betsy

AKU BETSY BERLARI-LARI KECIL KE SUDUT STASIUN – MELAMBAIKAN TANGANNYA YANG LEMAH GEMULAI. SEPERTI SEORANG FOTO MODEL, IA MELANGKAH MENAMPAKKAN BENTUH TUBUHNYA YANG SEXY GEMULAI

AKU-BETSY      :  Ini aku di sini.
                           Betsy Wong dari Jamaica.
                           Kakek buyutku dari Hongkong.
                           Suamiku penjaga elevator
                           Pedro Gonzales dari Puertorico
                           suka mabuk dan suka berdusta.

SATU RANGKAIAN TREM BAWAH TANAH BERHENTI DI STASIUN. AKU BETSY NAIK KE SALAH SATU GERBONG. TREM BAWAH TANAH BERGERAK MELANJUTKAN PERJALANAN.

                           Kalau ingin ketemu, telepon saja aku.
                           Pagi hari aku kerja di pabrik roti
                           Selasa dan Kamis sore
                           aku miliknya Mickey Ragolsky
                           si kakek Polandia
                           yang membayar sewa kamarku.    
Cobalah telpon hari Rabu.

Jangan kuatirkan suamiku.
Ia akan pura-pura tak tahu.
O, ya, sebelum lupa:
dua puluh dollar ongkosnya.

AKU MENGEJAR BETSY YANG NAIK KE DALAM TREM BAWAH TANAH TAPI TREM TELAH BERGERAK DENGAN CEPAT, AKU HANYA BISA MENGEJARNYA SAMPAI KE UJUNG STASIUN – LALU NAFASKU TERENGAH-ENGAH DAN KEMBALI KE TEMPAT SEMULA

AKU                 :  Betsyku bersih dan putih sekali
                           lunak dan halus bagaikan karet busa.
                           Rambutnya mewah tergerai
                           bagai berkas benang-benang rayon warna emas.
                           Dan kakinya sempurna.
                           Singsat dan licin
                           bagaikan ikan salmon


ADEGAN KEDUA

AKU BERJALAN MEMASUKI PUSAT KOTA NEW YORK. BERJALAN LUNGLAI DENGAN PIKIRAN YANG KACAU SAMBIL MEMEGANG SEBOTOL MINIUMAN JERUK SODA SESEKALI MEMINUM JERUK SODA


AKU                 :  Rick dari Corona
                           di perut kota New York
                           memandang kanan kiri
                           sambil minum jeruk soda

PIKIRANKU MENERAWANG JAUH KE ANGKASA… KESUDUT-SUDUT JALANAN KOTA. MENGAMATI SATU PERSATU TAXI YANG BERHENTI DI HALTE


AKU                 :  Betsy.
                           Di mana engkau, Betsy?

AKU BETSY MUNCUL DARI BALIK HALTE

AKU-BETSY      :  - Ini, Betsy Hudson di sini.

AKU BETSY MELOMPAT KE TROTOAR JALAN

AKU-BETSY      :  aku merindukan alam hijau
                           tapi benci agraria.


AKU BETSY MENARI NARI DI ATAS TROTOAR JALAN

AKU-BETSY      :  Aku percaya pada dongeng aneka ragam
                           Aku percaya pada benua Atlantis.
                           Dan juga percaya bahwa hidup di bulan
                           lebih baik dari hidup di bumi.

AKU BETSY BERHENTI MENARI

AKU-BETSY      :  Pada politik aku tak percaya.
                           Namaku Betsy.
                           Memang.


AKU BETSY MELANJUTKAN LAGI MENARI

AKU-BETSY      : Tapi kita tak mungkin ketemu
                           Siang hari aku kerja jadi akuntan.
                           Malam hari aku suka nulis buku harian.
                           Untuk merias diri
                           memelihara rambut dan kuku
                           telah pula memakan waktu.

                           Namaku Betsy.
                           Cantik
                           Aku suka telanjang di depan kaca.
                           Aku benci lelaki.

AKU BETSY TIBA-TIBA HILANG DARI PANDANGAN. SEKARANG HANYA TUBUHKU YANG TAMPAK BERKACA MATA HITAM – MEMAKAI JAS – DAN BERKENDARA MOBIL SPORT BUATAN INGGRIS. 

AKU                 :  Dengan mobil sport dari Inggris, Rick dari Corona mengitari kota New York berkacamata hitam sekali. Melanggar aturan lalu lintas, ia disetop polisi
sambil masih mimpi siang hari

Betsy gemerlapan bagai lampu-lampu Broadway.
Betsy terbang dengan indah.
Bau minyak wanginya menidurkan New York

Dan selalu sesudah itu, aku diselimutinya dengan selimut katun yang ditenunnya sendiri
                          
                           Betsy, di mana engkau, Betsy.
BETSY MUNCUL DARI SUDUT JALAN KOTA NEW YORK. TANGANNYA MELAMBAI LAMBAI

AKU-BETSY      :  - Di sini, bodoh!
                           Kau selalu tak mendengarkan aku, Ricky!
                           Kau selalu menciptakan kekusutan.
                           Sepatu tak pernah kauletakkan pada raknya.
                           Selalu kau pakai dasi yang kacau warnanya.

BETSY MENDEKATIKU

Berapa kali pula kau kuperingatkan
kalau tidur jangan mendengkur.
                           Itu barbar.
                           Dan Ricky!
                           Kau harus belajar makan sup yang lebih sopan!

AKU MENATAP GEDUNG-GEDUNG PENCAKAR LANGIT KOTA NEW YORK.
MATAKU MEMANDANG LIAR DAN TAJAM

AKU                 :  New York mengangkang. Keras dan angkuh.
                           Semen dan baja. Dingin dan teguh.
Adapun di tengah-tengah cahaya lampu gemerlapan
terdengar musik gelisah – yang tentu saja tak berarti apa-apa

Rick dari Corona telah di sini
Ya. Ya.
                           Betsy, engkau di mana?

TIBA-TIBA SAJA BETSY TELAH BERDIRI DIHADAPANKU

AKU-BETSY        :  Ricky, sayang, aku di sini.
Ya. Ya.

AKU MENGAMATI SEKUJUR TUBUH BETSY

AKU                 :  Engkau hitam.
Engkau bukan Betsy.
Engkau macam Negro dari Harlem.

BETSY TERTAWA

AKU-BETSY      :  Pegang pinggulku
Rasakan betapa lunak dan penuhnya.
Namaku Betsy. Ya. Ya.

PERASAANKU TENANG. AKU MULAI MENYADARI APA YANG TERJADI DENGANKU

AKU                 :  Gadisku selalu menjawab dengan sabar
                           segala pertanyaanku yang bodoh dan sangsi.

BETSY TERTAWA

AKUBETSY       : Aku Betsy kerna aku Negro.
Kerna aku Negro - aku adalah tanggung jawabmu.
Ya, namaku Betsy.
Telah kuputuskan namaku Betsy

AKU MERASA BERGAIRAH

AKU                 :  Apyun. Apyun.
Aku hasratkan pengalaman mistis.
Aku ingin melukis tubuhmu telanjang.
sambil kuhisap mariyuana.

BETSY TERTAWA

AKU-BETSY      :  Ricky, sayang, engkau akan kuninabobokan.
Dan bagai bayi akan kau puja tetekku.

AKU SEMAKAIN BERGAIRAH

AKU                 : Dari Queens. Dari Brooklyn. Dan dari Manhattan….

BETSY MENCUMBU RAYU

AKU-BETSY      :  Ricky, sayang, garudaku sayang.

AKU SEMAKAIN BERGAIRAH – TERUS BERGAIRAH

AKU                 :  Sebab irama combo, sebab buaian saxophone…


BETSY MENCUMBU RAYU

BETSY              :  Pejamkan matamu.
Dan bagaikan banyo
mainkanlah aku

AKU DAN BETSY BERGUMUL DALAM GAIRAH MALAM – TUBUHKU TURUN NAIK MENIKMATI DESAH NAFAS MALAM YANG DINGIN – AKU DAN BETSY BAGAI DUA BENDA YANG BEKU BERSATU DAN BERADA DI TENGAH TENGAH PUSAT KOTA NEW YORK

AKU TERSADAR – KENDERAAN BERSELIWERAN – ORANG ORANG BERSELIWERAN –
TERIK PANAS MATAHARI SEAKAN MEMBAKAR JALANAN

AKU                 :  Di Harlem, Manhattan, New York
di mana orang tinggal penuh sesak
di mana udara bau air kencing dan sampah
di musim panas dengan udara sembilan puluh lima drajat
para Negro menari watusi di tepi jalan
dan pada drajat ke seratus dua
terjadi perkelahian antara mereka

AKU BERJALAN TERUS BERJALAN. MENYUSURI JALANAN KOTA.

AKU                 :  Hallo. Hallo.
Di sini Rick dari Corona.
Dan Betsy juga di sini…
Hallo, Dokter.
Kami harus disuntik sekarang juga.
Kami kena rajasinga.

TAK ADA JAWABAN.. TAK ADA SUARA – SEKARANG SEMUANYA HENING
TERASA HENING – TENANG DAN DAMAI


Sekian dan terima kasih
Medan, 25 Nopember 2014.