Senin, 15 Juni 2015

PILIHAN PUISI LOMBA BACA PUISI KATEGORI B, (16-120 THN) AMUK TEATER SUMUT KE 14

INDONESIA BERKACA
karya: M. Raudah Jambak

telah lama indonesia terjebak dalam buramnya
kotak kaca, mulai dari wajah yang berdebu, sampai
tiga dimensi yang kaku, parabola tak lagi berguna
dikalahkan kecanggihan batok kelapa-
kejahatan, penipuan, kemunafikan-berlomba menjadi
pelaku utama-sementara kejujuran, keikhlasan,dan
kesabaran-cukup puas sebagai figuran biasa

telah lama indonesia terjebak dalam kumuhnya
media masa, mulai dari wajah yang penuh darah,
 sampai bibir merah penuh gairah, headline kemanusiaan tak lagi berguna, politik haus kekuasaan di atas segalanya-korupsi, prostitusi, anti ideologi-menjadi berita terkini-sementara harkat, martabat, dan nurani-hanya penghias demi investasi

telah lama indonesia terjebak di atas panggung sandiwara, yang selalu kehilangan penonton setia
mulai dari fans tiba-tiba, sampai kelas utama
tiket pertunjukan tidak lagi berguna, sebab
undangan gagal membawa marwah cerita-pemain, penata, dan sutradara-saling curiga dengan honor
yang diterima-sementara proyek, eksebisi, dan
pertunjukan dalam rangka-menjadi penentu final
dalam berkarya

lihatlah aceh, ambon dan papua
lihatlah korupsi, prostitusi dan manipulasi negri
lihatlah segala amoral dan asusila
anak-anak bangsa

apa khabar munir yang menunggang garuda
apa khabar harry roesli dengan drs. arief-nya
apa khabar peter white dan sepakbola indonesia
apa khabar sby bersama seratus harinya
apa khabar hamid jabbar yang selalu menzikirkan puisinya, selalu tertawa gembira-walau dalam tangis indonesia
apa khabar tsunami yang selalu meneteskan
air mata

do’a takjim buat saudara-saudaraku,
yang mengawang di bukit lawang, menanam pusara badan di kuningan, menyerah di bandara adi sumarmo yang gelisah, ambruk mengurusi nyamuk-nyamuk, menggigil digetarnya gempa tsunami
dan yang tiba-tiba pergi ke negeri entah
(tuhan mengarahkan langkah kalian menuju taman
di dalamnya mengalir sungai susu, tumbuh bunga-bunga indah, dan ranumnya beragam buah)

telah lama indonesia terjebak dalam lusuhnya cermin kaca, tapi yakinlah kami masih mampu
membaca makna-membersihkan wajah indonesia
indonesia bercermin
indonesia berkaca
dalam derita
kami akan terus berjuang untukmu
dalam bahagia
kami akan senantiasa mengharumkan
namamu,
indonesia berkaca-anak-anak bangsa berusaha
terangkai do’a, senantiasa

Medan, 2001


BALADA MARNI GADIS TEMBUNG
karya: S. RATMAN SURAS

Matanya redup adalah sayap burung yang lelah
setelah terbang melintasi tanah jaluran kuburan yang resah
berhari-hari menyulam kain lusuh
disengat matahari terpercik gerimis tipis
yang menderas menjadi badai tipis

Ia lahir dari jaman serba bingung
bapak ibunya jawa generasi terkini
kakek buyutnya korban kuli kontrak kompeni
diperas keringatnya menanam tembakau deli
sampai bercucu-cicit di tanah ini

Sepetak kolam kangkung di tepi desa Tembung
harapan keluarga agar asap dapur terus membubung
walau hasilnya cekak ditilep harga yang terus melambung
sedang bapaknya cuma kenek kuli bangunan
bersepeda pancal kota yang tak nyaman

Selepas SMP Marni memberontak, saat ia ingin membeli bedak
ingin berpatut-patut di depan cermin yang telah retak
merias diri, merawat raga, sebab si Sarmin anak tetangga
perjaka muda sering mencuri wajahnya, dari balik rimbunan pisang
di suatu siang, ketika angin mulai semilir mengalir

Jika berladang tak lagi memberi harapan
tanah-tanah kebun jadi rebutan dan hunian
kebutuhan hidup makin merenggut
Marni bingung tentukan tujuan

Bersama Jirah teman kecilnya
yang telah gemilang meraih bintang
ia terpikat langsung berangkat, jadi TKW ke negeri seberang
gadis lugu nan ayu yang masih segar

Ketika tiba-tiba di negeri singa, Marni terjebak hitamnya lumpur
ia tertipu sindikat gelap dipaksa jadi gadis penghibur
hatinya pedih tersayat-sayat, impiannya seketika hancur
pada saat yang mendebarkan, ketika tangan-tangan kuat dan kekar
mulai gerayangan di sekujur molek tubuhnya yang terkapar

Marni berontak mulut terkatup batin gemeretak
ia jadi gelap mata untuk mempertahankan mahkota sucinya
dipecahkannya sebuah botol minuman beralkohol
ditikamnya perut buncit toke asing berduit
darah segar muncrat menggenang di lantai kamar

Kini ia hidup heboh dalam cerita berita duka-lara
namanya menghias menyita media massa dua negara bertetangga
orang-orang saling lempar tentang kebenarannya
kerabat dan bapak-ibunya di Tembung berpayung langit murung
anak gadisnya terancam hukuman gantung

SAJAK SEBATANG LISONG
karya: W.S. Rendra

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-ka
nak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.


BELAWAN, KISAH SEBINGKAH KOTA
karya: HASAN AL BANNA

/1/
laut keriput, terasa aroma garam masam
dan kecut
saksikan bahu laut lebam menanggungkan
riuh-lalang perjalanan
lalu udara yang bersiut
seperti serbuk-serbuk besi tua
berat dan berkarat

ke mana camar-camar terbang
sambil menyandang sebuntal luka?

aroma tuak
menjalar dari riuk-derak lapak
kerumun laki-laki bersuara teriak
bernyanyi sambil meletuskan gelak
lantas tergeletak
dan selalu, bait-bait lagu
terperangkap di lingkar gitar tua

mmh, para gelandangan dan orang gila
senantiasa gagal mendirikan rumah

ruko-ruko renta
hasil senggama cina dan belanda
berjejer berhadap-hadap di kerut kota
aha, remuk-muram itu rupa
seperti para perempuan yang sejak lampau
kehilangan meja rias
dan yang tak pernah mengenal lelaki

/2/
dermaga adalah tubuh yang geletar
tapi tetap setia pada janji: “hai, turunkan saja
debar jangkar ke dangkal darahku
sekali waktu, tanpa aba-aba
laut akan mengokang badai
o, kapal-kapal yang kuyup
kemari, kalian akan kurangkul!”

masih adakah dada-dada yang berdebar
mendengar terompet kapal yang parau?

tapi dari ringkih kapal
cuma satu dua turis yang turun melancong
menelusur jalanan usang
atau sekadar menyodorkan cibiran
“buah tangan apa yang pantas
ditukar dengan dolar? Dan kekaguman
macam apa yang musti kami decakkan?”

amboi, adakah laut umpama kekasih
yang enggan mengirim kado?

ah, samar suara mesin sampan pencari ikan
adalah hasrat yang sekarat
berkisah tentang birahi laut
yang senantiasa luput terpagut
atau seperti igau para nelayan:”Tuhan, hanya
tengkorak ikan
yang terjebak di cemas jala!”

/3/
ai, apa yang merayap meniru seok kelabang
adalah kereta api barang, menggendong
gerbong panjang
menafsir jarak antara datang dan pulang
roda dan rel bak dua kelamin besi
yang memintal rindu
tapi tak pernah memercikkan api cemburu

anak-anak teramat lihai menanggal seragam sekolah
bereklebat menjelma bajing

demi menaklukkan terik yang berkelok dan terjal
truk-truk bermesin raung, batuk-batuk
berpundak lapuk, bernapas engah
memanggul peti kemas demi peti kemas
menyeret beban tak berkesudahan
merontokkan pitam asap
dan merentang beribu kelambu debu

entahlah, hilir-mudik orang-orang
semacam bayangan kelam yang menyedihkan

nun, kuli-kuli bertubuh hangus
bersaku tandus
masih terlatih mengintai sekeping harapan
tapi, bah, para tukang pungli
seperti berpinak dari rahim tikus
rakus
kapan mereka mampus?

Belawan-Medan,2006-2008

1 komentar: