PENTAS BISA DIMANA SAJA. BISA MENGGAMBARKAN APA
SAJA. LAMPU BRMAIN SUASANA. MUSIK BERMAIN SITUASI. TERSERAH. TAPI YANG JELAS
SEORANG LELAKI TERLIHAT SIBUK. DENGAN BERPAKAIAN YANG TERSERAH.
MEMBOLAK-BALIKKAN LEMBAR KORAN. SEOLAH MENCARI SESUATU. MEMBUKA HALAMAN DEMI
HALAMAN BUKU. MENCARI DI FILE KOMPUTER. MENULISKAN SESUATU DIKERTAS. MEMBUANGNYA.
MENULIS SESUATU DI KERTAS, LALU MEROBEK-ROBEKNYA. MENGACAK-ACAK RAMBUT.
MENYERUPUT KOPI. KEMUDIAN MENGAMBIL SEBATANG ROKOK. MENYALAKANNYA. MENGHISAPNYA
DALAM-DALAM. PENUH KENIKMATAN.
LELAKI
ITU TIDAK BERAPA LAMA BERGERAK MONDAR-MANDIR SEOLAH SEDANG MENCARI INSPIRASI
BARU DAN TERKEJUT KETIKA IA MENGINJAK SESUATU DAN TERPELESET.
Aduh....! sialan
! Siapa yang membuah sampah sembarangn ! Binatang ! Jin tanah, jin api, jin
air, jin udara. Jin segala jin ! Setan ! Sumpah ! Eh, maaf. Ada kalian. Dan
mumpung ada kalian, aku mau bertanya. Ah, tak usah kuatir. Aku masih bisa
kontrol. Ya, iyalah. Sebab kontrol adalah nama lain dari nama asliku. Nama
asliku? Aku Syaiful. Hehehe. Tenang. Boleh aku bertanya kan? Boleh? Oke. Trims.
Siapa ya kira-kira yang membuah sampah sembarangan ini? Tak apa-apa. Aku mau
kasih sesuatu. Kalau dia laki-laki akan kuajak diskusi. Bukan konfrontasi. Nah,
kalau dia perempuan akan kujadikan ... hus, bukan istri, tapi inspirasi ...
hehehe,,, ah, masak!? Kalian menuduh. Aku!? Ya, sudahlah. Kalau memang aku,
berarti tidak ada persoalan. Walaupun sebenarnya aku sering bermasalah dengan
diriku sendiri. Ya, sudahlah. Ooo, anu... tunggu sebentar.
LELAKI ITU SECEPAT KILAT MENCARI-CARI SESUATU DI
LACI. DI ATAS MEJA DAN DITUMPUKAN-TUMPUKAN SAMPAH. LALU TERTAWA SUMRINGAH
KETIKA MENEMUKAN SEBUAH KERTAS YANG SUDAH REMUK. KEMUDIAN MENARI-NARI
KEGIRANGAN.
Ah, ini dia.
Hahaha. Aku sedang melakukan riset dan menjadikannya cerpen. Bukan begitu. Ini
contoh keseriusanku. Aku menulis karena itu aku ada. Aku ada karena itu
menulis. Hehehe. Ah, coba kalian simak. Ya, simak. Tidak. Aku tidak akan
terlihat sentimentil. Aku akan membaca cuplikannya berapi-api. Ya. Begitu. Nah,
begini.
LELAKI ITU LALU MULAI MEMBACA. SEPERTI SEORANG
DEKLAMATOR
Diruas ranting
perjalanan semut semut beriringan. Hari sekuning cahaya. Embun yang terus
menerus menitik tadi pagi, sudah lama mengering. Melahirkan debu. Di antara
semut yang beriringan, seekor diantaranya, terpeleset jatuh. Tepat diatas daun
yang yang berlayar bersama air mengalir. Arusnya sangat perlahan, seperti
seekor ulat yang merayap dipatahan-patahan ranting. Ini bulan yang kesekian.
LELAKI ITU BERHENTI MENYERUPUT KOPI. LALU MELIRIK KE
PENONTON. ADA PERASAAN MALU.
Hehehe.
Sebenarnya, cerita ini hampir seratus persen bercerita tentang aku. Apa!? Tidak
percaya!? Ya, sudahlah, kalian dengarkan saja. Aku tulis nama tokohnya. Kubaca
ya!? Terimakasih.
LELAKI ITU MENCARI BARIS-BARIS DALAM TULISAN DAN
MELANJUTKAN MEMBACA LAGI.
Lelaki itu
tercenung. Tatapan mataya menahun. Tak lepas memandang ranting, daun, semut,
ulat, maupun aliran air yang mengalir. Hari masih sekuning cahaya. Pada dahi
lelaki itu telah tercatat baris-baris beban. Begitu buram. Pikirannya kembali
terbang di pinggir ranjang. Perempuan itu, istrinya, mengangis tersedu-sedu.
Lelaki itu seperti kehilangan kata. Tak mampu harus berbuat apa.
MENATAP KE ARAH PENONTON. WAJAHNYA AGAK SEDIKIT
KECEWA.
Mengapa kalian
diam? Tak enak ya? Wah, pikiran kalian sama dengan pikiran istriku. Hanya
mungkin lebih beringas. Malah tanpa sebab, ia pernah meminta cerai
padaku.”Pokoknya, aku mau pisah. Aku minta cerai. Titik!” aku Cuma bisa diam.
Hatiku serasa kelam. Katanya lagi, “ Kalau abang tidak mau, jangan salahkan
kalau nati rumah ini penuh dengan nisan!”
LELAKI ITU MERAS TUBUHNYA SEKETIKA LEMAS. IA JALAN
PERLAHAN MENGAMBIL. KURSI LALU DUDUK DENGAN WAJAH YANG MURAM.
Waktu itu aku
hanya terduduk di pinggir ranjang. Bibirku masih tetap terkatup.
LELAKI ITU PERLAHAN MENGAMBIL SEBATANG ROKOK DARI
SAKUNYA MEMBAKARNYA, LALU MENGHISAPNYA DALAM-DALAM. MENERAWANG JAUH.
Tatapan mataku mamaku di dinding. Pada sebuah
foto perkawinan yang tergantung. Ada kebahagiaan yang tergurat jelas di sana. Bingkainya
yang keemasan itu, menambah lengkapnya kebahagiaan kedua tokoh, foto pernikahan
kami, yang tergambar abadi disana. Aku waktu itu masih terdiam. Hanya tatapan
mataku yang menyebar kesetiap sisi dan sudut ruangan kamar. Aku masih ingat,
betapa kamar kami telah menjadi saksi yang paling layak dipercaya. Demi
mengingat itu hatiku memanas. Kalian tahu, demi perempuan itu segelanya rela
kukorbankan. Tetapi apa yang kudapatkan. Lacur dasar lacur. Perempuan yang
katanya istriku, yang paling kucintai melebihi segalanya itu, telah
menghancurkanku kebahagiaan rumah tangga yang kami bina begitu rupa.
LELAKI ITU BERDIRI. ROKOK YANG BELUM HABIS ITU
DICAMPAKKAN BEGITU SAJA DILANTAI. LALU LELAKI ITU MENGINJAK-INJAKNYA DENGAN
PENUH KESAL.
Awalnya, aku
berfikir. Ia sering marah-marah, karena aku selalu larut dalam tulisan.
Kemudian, lupa menemaninya tidur. Lupa mengajaknya berbicara dan bercanda. Lupa
segalanya. Kupikir itu. Kalian tidak percaya!? Ah, jangankan kalian istriku
saja selalu menaruh curiga padaku. Lupakan. Lupakan saja. Aku hanya ingin
menceritakan tentang istriku pada kalian. Isteriku yang selalu memarahiku kalau
terlambat pulang kerumah. Isteri yang selalu memarahiku kalau aku sedang
menerima telepon atau sms dari seorang perempuan yang sebenarnya belajar
menulis kepadaku. Isteri yang kuanggap setia. Eh, ternyata...?
LELAKI ITU TERDIAM. DIA MENGAMBIL SESUATU DI SAKU
CELANANYA. SEBUAH SAPU TANGAN. KEMUDIAN MENGHAPUS AIR MATANYA.
Bukan. Aku bukan
menangis. Mataku erasa sedikit gatal saja. Mungkin terlalu lama menulis.
Sehingga mataku terasa lelah. Sumpah. Aku tidak menangis. Aku marah. Coba
kalian pikir. Disini. Ya disini, ditempat ini. Isteri yang sekarang kusebut
perempuan itu, tiba-tiba datang memelukku. Sambil berteriak kegirangan ia
menyamaikan sesuatu, “aku hamil, bang.” Isteri yang kusebut perempuan itu
memelukku penuh gembiri. Aku segera melepaskan pelukan itu dengan tiba-tiba.
Dia terkejut dan bertanya, “kenapa, bang?” mata isteri yang kusebut perempuan
itu mulai berkaca. Kebahagiaan yang paling diimpikannya seolah raib begitu
saja. “apa ada yang salah?” isteri yang kusebut perempuan itu bertanya lagi.
Puih! Dia lalu menerorku dengan bebagai pertanyaan-pertanyaan yang paling tidak
aku suka. “abang tidak bahagia dengan kehadiran anak kita?” isteri yang kusebut
Perempuan itu menggoncang tubuhku. “Atau Abang berpikir yang tidak-tidak
tentang aku?”
LELAKI ITU BANGKIT. IA MERASA BERSEMANGAT DAN PENUH
KEMENANGAN.
Tahukah kalian
apa yang kulakukan selanjutnya. Tidak!? Aku hanya diam. Ya, hanya diam. Ada
beban dan sesuatu yang tak perlu kuucapkan. Ada kata-kata yang terbelah menjadi
serpihan-serpihan tak berbentuk. Sejak itu, aku lebih memilih mengakrabkan diri
dengan tulisan-tulisanku dan sebatang pohon jarak yang tumbuh tepat dipinggir
parit di belakang rumah kami. Eh, maaf rumahku. Kenapa? Karena aku yang
membelinya. Ya. Pada sebatang pohon jarak itu aku berdialog dengan kesunyian.
Bercengkrama dengan kesepian. Karena aku merasa hatiku kosong begitu kosong.
LELAKI ITU BERGERAK MENGAMBIL GITAR BERNYANYI DENGAN
SUARA YANG SETELAH GALAU. BERHENTI. MENYERUPUT KEMBALI KOPI KENTAL. YANG
TERLALU LAMA DINGIN ITU
Mungkin hanya
kalianlah yang mengerti perasaanku saat ini. Betapa sakitnya dikhianati.
Bagaimana aku bisa bergembira dengan kehamilan isteriku. Tidak. Tidak
samasekali. Aku tidak akan memberitahukannya pada kalian. Karena itu adalah
aib. Mungkin pada saat yang tepat aku akan berbagi pada kalian. Aku lebih
memilih diam. Termasuk pada isteri yang sekarang kusebut perempuan itu. Berhari-hari,
bahkan sudah melewati bulan kedelapan, aku selalu seperti itu, jika tidak ada
kesibukan lain yang memaksaku untuk berburu dengan waktu. Lalu teriakan,
jeritan, tangisan isteri yang sekarang kusebut perempuan itu selalu membakar
segala ketidakberdayaanku menjadi sebuah kekuatan. Adakah dari kalian yang
cintanya dikhianati. Ya, persis. Akupun begitu! Sepakat!
LELAKI ITU TIBA-TIBA MENUJU KEARAH SUDUT-SUDUT
RUANGAN. ADA PERASAN CURIGA. IA MERASA SEDANG DIAWASI. TETAPI KETIKA MERASA
SEMUANYA AMAN IA KEMBALI LAGI. MENYERUPUT KOPI LAGI. DAN BERBISIK.
Aku sebenarnya
begitu mencintainya. Tapi, aku malu mengakuinya. Pernah satu kali ia memaksaku
untuk memeriksakan diri ke dokter. “Ayo kita ke dokter, periksa DNA,” ujar
isteri yang sekarang kusebut perempuan itu terbata. Aku masih juga terdiam.
Lalu isteri yang sekarang kusebut perempuan itu histeris, “Aku tidak akan pernah
memeriksa kandungan ini.” Air matanya menderas.” jika Abang tidak mau ikut memeriksakan
diri juga” Plak! Kata-kata itu seperti menamparku bertubi-tubi. Tapi, aku juga
tetap diam, tidak mau bicara. Rasa malu, marah dan kecewa serasa
berganti-ganti. Isteri yang kusebut perempuan itu berteriak lagi,”Abang tidak
bisa selamanya terus begini,” ujar isteri yang sekarang kusebut perempuan itu
sambil menyeka air mata,” Diam tidak akan pernah menyelesaikan segalanya!”
LELAKI ITU KEMBALI KE MEJA KERJANYA MENCARI-CARI
SESUATU. DAN DIA SEPERTINYA TIDAK MENEMUKAN SESUATU.
Coba kutanya
pada kalian. Jika kalian menerima musibah yang serupa dengan apa yang kalian
lakukan? Marah? Benci? Atau diam? Nah, nah, nah. Akupun seperti tu. Aku hanya
diam. Tetapi, isteri yang kusebut perempuan itu terus meracau. “Bicara!” isteri
yang kusebut Perempuan itu berteriak sekuat-kuatnya, “Bicara!” isteri yang
kusebut perempuan itu terus meracau. Berteriak. Menjerit. Berlari kesana
kemari. Ia terus dan terus menjambak-jambak rambutnya. Menangis sejadi-jadinya.
“jika kehamilan ini yang menjadi persoalan, maka aku akan menggugurkannya. Walau
usia kandunganku ini sudah termasuk bulan kelahiran. Atau kita sebaiknya
bercerai!” isteri yang kusebut Perempuan itu terus berteriak, “Pengecut! Banci!
Kita cerai! Dengar! Aku mintai cerai!”
WAJAH LELAKI ITU TIBA-TIBA MENEGANG. ADA GEJOLAK
YANG SEAKAN MENDESAK HENDAK MELEDAK
“Diam!” Aku
mengerang. Gundahku meledak. Rokok yang sedari tadi bergantung disela-sela
jariku, terloncat begitu saja. Nyaris mengenai isteri yang kusebut perempuan
itu. Isteri yang kusebut Perempuan itu meradang. “Aku minta cerai! Titik!” Aku
membalas. “Diam! Kalau aku bilang diam, diam!” Dia tak mau kalah, “Aku tidak
akan pernah diam, jika Abang tidak jelaskan kepadaku tentang sikap Abang selama
ini. Kebencian Abang yang begitu tiba-tiba kepadaku, terutama kepada calon anak
kita. Dan Aku tidak akan pernah diam, kecuali Abang menceraikan aku. Aku minta
cerai!” Aku tak mau kalah. “Aku benci padamu!Aku benci pada anak yang
dikandunganmu! Aku benci diriku sendiri!” Kami terdiam beberapa saat. Isteri
yang sekarang kusebut perempuan itu coba melunak. “Kenapa? Apanya yang salah?”
desak perempaun itu,”seharusnya Abang bangga. Bangga dengan kehadiran anak
kita. Anakmu, Bang?.” Aku menggeleng dan menghindar. Pandanganku jauh.
Kukatakan padanya dengan suara berat dan tertahan. “Itu bukan anakku. Dengar
itu bukan anakku!” Isteri yang sekarang kusebut perempuan itu berusaha untuk
terus melunak. “Jadi, secara tidak langsung aku melakukannya dengan orang lain.
Abang pikir, aku telah berzinah, aku selingkuh?!” Aku marah. Ya, aku marah
terutama pada diriku sendiri. Kukatakan padanya. “Pokoknya anak itu bukan
anakku. Titik!” aku lalu pergi begitu saja. Jiwaku mengerang. Waktu itu aku
pergi dengan berjuta kekalahan, meninggalkan isteri yang sekarang kusebut perempuan
itu. Isteri yang sekarang kusebut Perempuan itu ditumpuk-tumpuk amuk.
LELAKI TU TIBA-TIBA MENGMABIL KURSI DAN
MELETAKKANNYA DIATAS MEJA. KEMUDIAN MENGAMBIL SESUATU DI TUMPUKAN KERTAS.
BERDIRI DI SAMPING KURSI KEMUDIAN BERTERIAK-TERIAK SEOLAH DEKLAMATOR HANDAL.
Diruas ranting
perjalanan semut semut beriringan. Hari sekuning cahaya. Embun yang terus
menerus menitik tadi pagi, sudah lama mengering. Melahirkan debu. Diantara
semut yang beriringan, seekor diantaranya, terpeleset jatuh. Tpat diatas daun
yang berlayar bersama air mengalir. Arusnya kadang deras, kadang sangat
perlahan , seperti seekor ulat yang merayap di patahan-patahan ranting. Angin
berhembus disela-sela daun. Melintas begitu saja. Hari semakin beranjak jingga.
Sayup dari kejauhan suara seseorang mengundang cemas.
LELAKI ITU BERHENTI. MENURUNI MEJA. LALU MENYERUPUT
KOPI YANG TINGGAL AMPASNYA. MENGAMBIL SEBATANG ROKOK DAN MENYALAKANNYA.
MENGHISAPNYA DALAM-DALAM. TATAPANNYA MENERAWANG.
Lama aku
merenung. Tidak. Aku hanya merenung. Aku sadar. Aku tidak perlu egois.
Sebenarnya aku malu. Tapi, aku harus tahu diri. Apalagi ketika tetanggaku
datang tergesa-gesa menemuiku. “Kakak pingsan, Bang. Cepat. Operasinya lagi
berjalan!”. Secepat angin, begitulah aku terbang. Menembus segala kegelisahan.
Rasa maluku menjalar. Betapa tidak, sudah lama aku ingin mengatakan bahwa aku
sudah tidak mampu memberikan keturunan kepada istri yang sekarang sudah kusebut
isteriku. Batinku terus berontak. Rasa senang tidak ingin memiliki anak sudah
kubuang jauh-jauh. Tetapi, istriku hamil? Isteriku tengah dioperasi. Istriku,
ah. Dan isteriku tidak menyadari betapa aku ternyata begitu mencintainya. Aku
juga merasakan rasa takut sekaligus rasa malu yang bukan kepalang, jika
ketahuan. Secepat angin, begitulah aku datang. Menyambut dokter yang keluar
dari ruang operasi seperti takut dan senang. “Selamat!” kata dokter itu.
“Terimakasih, Dok. Apa anaknya, Dok. Sehatkan, Dok?” tanyaku hati-hati. “Anak
siapa?”dahi dokter berkerut. Ia lantas tersenyum, “ooo, bukan. Istri Bapak tidak
mengandung. Istri bapak terkena tumor. Dan kami berhasil mengangkatnya.
Sekarang sedang beristirahat.” Aku was-was sekaligus puas, “Tapi
katanya...hamil?” Aku merasa melayang ketika dokter itu menggelengkan kepala.
Aku gembira. Bahagia! Aku ingin menari dan berpuisi!
LELAKI ITU LALU MELENGGAK-LENGGOKKAN TUBUHNYA. IA
MENARI. IA BERPUISI.
Secepat arus air
mengalir, begitu ia tergelincir. Secepat datang, secepat itu pula ia pergi.
Senang dan benci begitu saja hadir silih berganti. Dan ini memang ramadhan kesekian.
LELAKI ITU TERUS MENARI DAN SEOLAH PEJUANG YANG
MENANG DARI GELANGGANG PERANG IA NAIK KEATAS MEJA DAN BERTERIAK SEKUAT-KUATNYA
Istriku aku
cinta padamu!
LAMPU PERLAHAN PADAM. MUSIK PERLAHAN DIAM. PADAM
SELESAI
Medan, KOMUNITAS HOME POETRY, 06-12-14
BIODATA
M.Raudah Jambak, S.Pd, lahir di
Medan, 5 Januari 1972. Pernah bersingguangan di Komunitas Forum Kreasi Sastra,
Komunitas Seni Medan, Komunitas Garis Lurus, Himpunan Sarjana Kesusastraan
Indonesia, Komunitas Sastra Indoneisa, Seniman Indonesia Anti Narkoba, dll.
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMK, Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi
Medan. Alamat tugas : Jalan Jenderal Gatot Subroto Km 4,5 Medan, Sumatera
Utara. Hp 085830805157. Kontak Person TBSU- Jl. Perintis Kemerdekaan, no. 33
Medan. Saat ini sebagai Direktur Komunitas Home Poetry. Kegiatan terakhir
mengikuti Temu Sastrawan III di Tanjung Pingan. Cukup banyak kegiatan yang
digeluti sejak SD yang berkaitan denan seni, sastra dan budaya. Lokal,
nasional, maupun Asia Tenggara. Secara nasional dimulai pada event PEKSIMINAS
di Jakarta (Teater, 1995), LMCP_LMKS di Bogor (sampai 2008), MMAS Guru-guru se
Indonesia di Bogor (2008), work shop cerpen MASTERA, di Bogor(2003), Festival
Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta, TSI 1-3, Juara Unggulan 1 Tarung
Penyair Se-Asia Tenggara di Tanjung Pingan. Nominasi cipta puisi nasional
Bentara, Bali, dll.
siiip....lah
BalasHapusGOOD....
BalasHapus